10 Tahun AELI : Kita Baru Mau Mulai Nge-gas
- Admin
- Jul 8, 2017
- 3 min read

Tepat satu bulan yang lalu, AELI merayakan hari jadinya yang ke-10 di Aston Sentul, Bogor. Kalau ditarik mundur lagi ke 1 dekade plus 1 bulan yang lalu, asosiasi ini dideklarasikan di Tanah Tingal, Ciputat, Banten. Kumpulan yang bernama lengkap Asosiasi Experiential Learning Indonesia dan lebih ringkas disapa AELI ini dibentuk dengan maksud tujuan menjadi wadah pelaku experiential learning di Indonesia dimana outbound adalah salah satu komponen pilar di dalamnya.
Setelah 10 tahun berkiprah, apa yang sudah berhasil AELI lakukan untuk kemaslahan experiential learning di Indonesia ? Biasanya, para pengurus AELI akan memajukan dua jawaban saat dihadapkan pertanyaan seperti ini. Yang pertama, bahwa AELi sudah eksis di sekian belas propinsi di Indonesia. Yang kedua, bahwa dalam ayoman Kementerian Pariwisata, AELI berhasil turut membidani dan mengawal jalannya proses SKKNI (standar kompetensi kerja nasional Indonesia) dalam bidang kepemanduan outbound / fasilitator experiential learning. Cukupkah dua jawaban itu menjadi representasi prestasi asosiasi dengan usia 1 dekade ini ?
Kalau wajib jujur, maka saya harus menyatakan TIDAK untuk menjawab pertanyaan di atas. Dengan menggunakan ukuran belum tercapainya harapan saya saat memutuskan mendaftar keanggotaan asosiasi ini di pertengahan tahun 2013, saya belum menemukan impact yang signifikan dari sepak terjang asosiasi ini.
Dan kalau situasinya seperti ini, nampaknya saya harus sepakat dengan rekan-rekan seprofesi yang menunjukkan sikap skeptis saat ditawari join dengan asosiasi ini. Mungkin juga saya akan ikut-ikutan berteriak kecewa bersama kawan-kawan anggota yang relatif (katanya) belum merasakan benefit keanggotaan "asosiasi outbound" tertua di tanah air ini. Dan bisa juga saya follow rombongan kapiran rekan-rekan anggota yang coba menggalang kekuatan baru dengan membentuk kumpulan sejenis walau sembari tetep gak berani bersikap jantan "menyerahkan" kembali status keanggotaannya kepada organisasi.

Namun hak menyatakan TIDAK itu gak gue ambil. Saya coba mengambil jalan yang lain. Aneh memang, ternyata saya lebih merasa enjoy untuk ikutan barisan kawan-kawan yang tetap berada ditengah belantara lebat dan sedikit demi sedikit turut mengayunkan tramontina untuk membuka jalan setapak menuju puncak gunung yang kita idam-idamkan. Ternyata saya merasa lebih nyaman terus barengan mereka yang masih setia membersihkan tumpukan piring kotor yang nyata di depan mata. hahaha entah siapa yang usai berpesta, gue juga gak tau.
Historical pergerakan kepengurusan asosiasi ini saya tidak paham secara utuh karena saya hanya memulai penggalan kisahnya sejak medio 2013 di kepengurusan Jawa Barat. Kemudian kesempatan ikut-ikutan mengurus pusat mulai awal 2014 dan sejak itu saya mulai berusaha mempelajari situasi yang ada di kepengurusan pusat. Berlanjut di pertengahan 2016 kembali menjabat Kabid Humas Pusat dan beberapa bulan lalu naik pangkat menjadi ketua harian di pengurus pusat. Dan mulai dari titik itu saya benar-benar paham.
ah ternyata simpel-simpel aja kok pongkol permasalahannya. Fenomenanya hampir mirip dengan yang saya alami beberapa kali di organisasi yang pernah saya geluti dulu kayak OSIS, Senat Mahasiswa, Ikatan Remaja Mesjid. Bahwa yang naek pentas di panggung pusat masih malu-malu buat tampil all out. Hasil rapat yang gak diprogress, permisif terhadap target dan "emang gue pikirin" sering banget saya temui di jadwal-jadwal pentas panggung pusat. Dan bersamaan dengan itu, panggung-panggung di daerah berhasil menyedot penonton yang terus bertambah. Hingga muncullah gap antara pencapaian panggung daerah dan panggung pusat. Menurut gue, itu simpel.
Wayout nya semestinya simpel juga toh, kasih aktor yang mau tampil all out buat naik panggung pusat. Just that. Nanti baru dinamika dan permasalahan baru mungkin akan muncul. Tapi paling nggak masalah yang muncul bisa lebih "bermutu" lah. Dan gak kan lagi ketemu hal-hal yang bisa bikin kita ngakak kayak kebingungan menggunakan google drive, distribusi notulen rapat 10 hari setelah rapat, kebingungan bikin desain kartu anggota, mangkir dari rapat yang belum tentu sebulan sekali.
Aktor pemeran kali ini harus orang-orang yang "sudah rampung dengan urusan dirinya" karena memang perannya saat ini adalah mengurus orang lain. Dan dunia EL di Indonesia banyak memiliki aktor-aktor seperti itu.
Jadi, sabar yak rekan-rekan member. Simpel kok. Mudah-mudahan tumpukan piring kotor ini segera terbenahi secepat dengan yang anda harapkan. Kita mulai nge-gas sekarang
Comments